Rabu, 05 Mei 2010

Lembaga Keagamaan Bisa Jembatani Dialog

Lembaga-lembaga keagamaan merupakan salah satu saluran yang bisa menjembatani proses dialog masyarakat Papua dengan Jakarta, dalam rangka menghapus tuduhan makar atas oknum atau kelompok masyarakat tertentu yang melakukan aksi sosial.

Hal tersebut disampaikan pengamat politik Papua sekaligus penulis buku "Makar-Perspektif Papua", Frits Bernard Ramandey SSos MH di Jayapura, Kamis (6/5/2010). Pendapat Frits tersebut menanggapi desakan banyak kalangan masyarakat di Papua agar segera digelar dialog nasional Papua dengan pemerintah pusat untuk menuntaskan berbagai permasalahan krusial di wilayah Papua.

"Pendekatan spiritualitas agama mengajarkan bahwa kedudukan manusia adalah sederajat," katanya.

Menurut Frits, Gereja Katolik dan Protestan di Papua selama ini telah menjalankan misi dengan baik dalam menjembatani proses awal komunikasi masyarakat Papua dengan pemerintah Indonesia.

Dia mengatakan, para tokoh agama di Papua mengambil peran penting dalam memediasi dialog sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan persoalan status politik Papua secara bermartabat berdasarkan nilai-nilai ajaran Ketuhanan yang bebas kepentingan pragmatisme.

Dalam catatan Frits, beberapa orang Papua yang menyampaikan pikiran dan ekspresinya di antaranya Arnol Aap dengan kelompok seniman/budaya asli Papua, juga kelompok sipil yang memilih bergerilya seperti Feri Awom, yang kemudian kepadanya dikenai psal subversi.

Selain itu, makar pernah didakwakan kepada Dr Tom Wanggai yang bersama kelompoknya mendeklarasikan Negara Melanesia Barat pada 14 Desember 1988 di lapangan sepak bola Mandala,Jayapura.

Selanjutnya Theys H Eluay juga dijerat dengan pasal-pasal makar. Ia mencetuskan Deklarasi 12 November 1999 dan pengibaran bendera Bintang Kejora 1 Desember 1999. Ia juga terlibat dalam Mubes Papua pada 23-26 Februari 2000, Komunike Politik Papua dan kegiatan Kongres Papua II pada 29 Mei - 4 Juni 2000.

Bagi rakyat Papua, rangkaian kegiatan yang diikuti Theys H Eluay dan ribuan orang Papua itu merupakan ekspresi kebebasan atas nama masyarakat Papua yang menyuarakan status kedaulatan politik Papua Barat berdasarkan peristiwa 1 Desember 1961, sementara itu para penegak hukum memiliki pandangan bahwa tindakan dan kegiatan tersebut adalah perbuatan makar untuk memisahkan Papua dari NKRI.

Frits berpendapat, apabila proses tradisi dan politik masyarakat Papua tidak dipahami secara hati-hati dari perspektif sosial, ekonomi, politik dan budaya dengan nafas pluralisme, maka penegakan hukum atas nama keadilan tidak akan ditemukan dalam kasus-kasus tindak makar di Papua.


DIPOSTKAN OLEH SHOWROOM CAHAYA INTAN MOTOR


cahayaintan1@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar